Panggil saja namanya Nasir. Boleh dikatakan ia adalah bocah yang paling beruntung di dunia. Ia selamat dari cengkraman ISIS. Usianya baru 12 tahun.
Anak laki-laki itu akhirnya berhasil bertemu dengan sang ibu di kamp pengungsi Esyan di Kurdistan. Itu adalah rumah bagi 15.000 kaum Yazidi yang melarikan diri dari ISIS. Berkisah kepada CNN, seperti dilansir Liputan6.com, Rabu (13/1/2016), Nasir meminta agar wajah, suara, dan nama aslinya disamarkan.
"Ada 60 anak," kata Nasir memulai kisahnya.
"Hal yang paling menakutkan bagi kami adalah saat serangan udara berlangsung. Mereka membawa kami ke bawah tanah lewat lorong-lorong berliku untuk bersembunyi. Mereka berkata kepada kami, orang Amerika adalah kafir, mencoba membunuh kami. Namun mereka, ISIS, berjanji akan mencintai kami. Mereka berjanji akan mengasuh kami jauh lebih baik daripada orangtua kami," kata Nasir.
"Saat kami berlatih mereka mengatakan orangtua kami juga kafir dan pekerjaan pertama kami adalah membunuh orangtua," ujar Nasir lagi. Sesekali ia mengusap air matanya.
Kisah anak-anak sebagai tentara ISIS terdokumentasi dengan baik. Minggu lalu contohnya, sebuah video propaganda terbaru menggunakan bocah berbahasa (dan berlogat) Inggris. Kenyataan di balik berita-berita tentara anak ISIS sungguh mengerikan.
Menangis Diam-diam
Indoktrinisasi ISIS yang diterima Nasir dan anak-anak lainnya seragam. Teroris yang mencuci otaknya berkali-kali mengatakan ISIS adalah satu-satunya keluarganya.
Masih kata Nasir, anak-anak yang termuda di kamp berusia 5 tahun. Tak ada satu pun dari mereka luput dari pelatihan yang kejam kendati bocah-bocah itu disebut 'bayi-bayi kalifah'.
"Kami tak boleh menangis. Namun tiap kali aku ingat ibuku, aku menangis. Aku berpikir ia pasti khawatir," ucap Nasir.
"Dan saat aku berhasil bebas dan bisa melihat ibuku lagi... aku seperti hidup kembali," ujar Nasir sambil melihat ke sang ibu.
Nasir kini kembali ke sekolah. Ia berhasil keluar dari cengkraman ISIS. Namun ia sempat tampil di rekaman propaganda yang dibuat di Al Farouq Institute di Raqqa, Suriah. Tempat itu adalah pusat pelatihan tentara anak ISIS.
Dalam rekaman itu, kepala bocah ditutupi kain hitam dan duduk berbaris. Satu anak terlihat gemetaran, sementara anak lainnya tak mampu mengangkat senjatanya sendiri.
"Berjuang! Berjuang!" teriak bocah-bocah itu dalam film propaganda.
"Dan dengan restu Allah," ujar seorang pelatih, "dalam beberapa hari, mereka akan berdiri di garis depan perjuangan untuk melawan para kafir."
Kurus Kering Tak Seperti Manusia
Aziz Abdullah Hadur, seorang komandan Peshmerga dari pejuang Kurdi dan Yazidi, mengatakan bocah-bocah atau mereka yang berhasil kabur dan kembali ke keluarganya terlihat menyedihkan. Pandangannya kosong.
"Saat mereka tiba di sini, mereka kurus kering. Tak seperti manusia," kata Hadur.
"Mereka mengatakan kepada kami, mereka telah hidup di neraka," ujar dia
Hadur berkata ia dan pejuang Kurdi kadang terpaksa menembakkan senjatanya ke arah anak-anak binaan ISIS yang sengaja diperintah maju ke garis depan di Irak Utara.
"Tiap kali kami berhadapan dengan ISIS, kami selalu melihat anak-anak di garis depan. Mereka memakai rompi peledak. Mereka telah dicuci otaknya," ujar Hadur.
Pasukan Peshmergas hanya punya sedikit waktu berpikir saat berperang dengan ISIS.
"Kami tidak tahu kapan mereka mendekati kami, apakah mereka adalah bocah-bocah yang kabur atau mereka ingin membunuh kami," kata dia.
Hadur dan rekan pejuang Kurdi kerap dilema setelah ISIS makin sering mengirim tentara anak. Hal ini terjadi karena ISIS berada dalam tekanan militer dari pasukan asing. Sementara itu, mereka terkenal sebagai pasukan yang brutal, sehingga tak heran mereka mengirim pasukan anak lebih banyak.
Kekerasan yang Berulang
Sebelum Nasir, bocah yang berhasil selamat dari cengkraman ISIS adalah Nouri, 11 tahun. Ia diculik dari keluarganya dan dibawa ke kamp ISIS di Tel Aafar, Irak Utara. Ketika ia menolak bergabung dengan bocah-bocah lainnya untuk berlatih perang, tentara ISIS mematahkan kakinya.
Namun Nouri dianggap beruntung. Ketika kakinya sembuh, ia tak dapat berjalan sempurna. ISIS menganggapnya tak berguna. Untungnya ISIS tak menembak mati dia. Ketika sang nenek datang mengiba untuk mengambil cucunya, ia diperbolehkan pergi.
Adiknya bernama Saman juga dibebaskan. Bocah yang masih 5 tahun itu mengalami kekerasan. Tangannya kerap dipukul tentara ISIS. Hal itu membuatnya trauma luar biasa.
Saman selalu berteriak di malam hari dan menderita kejang-kejang. Tiap kali ada orang asing berbicara dengan kakek neneknya, ia akan berlari menjauh, lalu bertanya, "Apa kamu akan memukuliku?"
Nouri dan Saman harus dirawat oleh kakek neneknya karena orangtua mereka dan adiknya yang masih bayi masih ditahan ISIS.
"Mereka ajak kami untuk berlatih, kami menolak karena takut. Lalu mereka mengajakku ke gunung, aku menolak, lalu mereka mematahkan kakiku. Itu yang membuatku selamat. Anak-anak lain dipaksa untuk mengikuti mereka," Nouri menjelaskan.
Sang nenek, Gowra Khalaf, mengatakan semenjak kembali ke pangkuannya, Nouri lebih banyak diam di tenda dengannya.
"Ia tak mau pergi ke luar tenda. Ia hanya duduk di sini dekat denganku," ujar Khalaf.
Nouri berkisah dengan suara lemah. Kerap kali berhenti dan menarik nafas sepanjang perbincangan. Ia lebih sering melihat ke bawah.
Ketidakadaan orangtua membuat hidup mereka makin nelangsa.
Di luar tenda hujan turun dengan deras. Suaranya menderu. Itu saja membuat Saman, yang sedang tidur di pangkuan kakeknya makin memperat pelukannya. Ia takut. Gemetar.**
SUMBER global.liputan6.com