Suasana sebuah kampung tiba-tiba heboh, karena persis jam 22.00 terdengar adzan berkumandang dari sebuah mushalla setempat lewat pengeras suara yang memecah keheningan malam.
Suara pengumandang adzan yang tak kalah gontai membuat warga berbondong-bondong mendatangi mushalla itu meski mereka sudah tahu siapa yang melakukannya; Mbah Sadi yang umurnya sudah menembus kepala tujuh. Yang membuat kepala warga dipenuhi pertanyaan, mengapa Mbah Sadi adzan pada jam sepuluh malam?
Ketika warga sampai di pintu mushalla, Mbah Sadi baru selesai adzan dan mematikan sound system. “Mbah tahu gak, jam berapa sekarang?” cecar Pak RT sambil menunjuk jam dinding mushalla.
“Adzan apa jam segini, Mbah?”...“Jangan-jangan Mbah sudah ikut aliran sesat,” sambar Yoso dengan nada prihatin. “Sekarang banyak banget aliran macem-macem. Bahaya kalau kampung kita sudah kena.” lanjutnya.
“Ah, dasar Mbah Sadi sudah gila,” sahut Joni, mantan preman yang sudah mulai insaf dan berusaha menghilangkan tato di pangkal lengannya dengan setrika panas. “Kalau nggak gila, mana mungkin adzan jam segini?” sambungnya sambil menyilangkan jari telunjuk di keningnya ke arah warga yang riuh berkomentar macam-macam mengomentari laku aneh Mbah Sadi.
“Kalian ini ......,” jawab Mbah Sadi tenang. “Tadi, waktu saya adzan Isya, nggak satu pun yang datang kemari. Sekarang saya adzan jam 10 malam, kalian malah berbondong-bondong ke mushalla. Satu kampung lagi. Kalo gitu... SIAPA YANG GILA.... coba?”
Warga pun ngeloyor pulang satu persatu tanpa protes lagi. Termasuk Pak RT yang melipir menjauh, perlahan-lahan, tak berani melihat wajah Mbah Sadi.
Buat renungan, lebih baik dianggap GILA karena menghidupkan kebaikan daripada menjadi yang merasa NORMAL dalam kelalaian.
SUMBER kisah92.blogspot.co.id